Morfologi Kota
Morfologi terdiri dari dua suku kata, yaitu morf yang berarti bentuk dan logos yang berarti ilmu. Sedangkan kota, menurut Gallion dan Eisner (1992) mendefinisikan kota sebagai suatu laboratorium tempat pencarian kebebasan dilaksanakan percobaan uji bentukan-bentukan fisik. Bentukan fisik kota terjalin dalam aturan yang mengemukakan lambang-lambang pola-pola ekonomi, sosial, politik, dan spiritual serta peradaban masyarakat.
Secara sederhana morfologi kota berarti ilmu yang mempelajari produk bentuk-bentuk fisik kota secara logis.
Sedangkan arti luasnya adalah morfologi kota merupakan ilmu terapan yang mempelajari tentang sejarah terbentuknya pola ruang suatu kota dan mempelajari tentang perkembangan suatu kota mulai awal terbentuknya kota tersebut hingga munculnya daerah-daerah hasil ekspansi kota tersebut. Bentuk morfologi suatu kawasan tercermin pada pola tata ruang, bentuk arsitektur bangunan, dan elemen-elemen fisik kota lainnya pada keseluruhan konteks perkembangan kota. Pada tahap selanjutnya, terjadilah aktivitas sosial, ekonomi, budaya dalam masyarakatnya sehingga membawa implikasi perubahan pada karakter dan bentuk morfologi kawasan pusat kota. Sebuah kota selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan ini menyangkut aspek-aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi, dan fisik. Khusus aspek yang berhubungan langsung dengan penggunaan lahan perkotaam maupun penggunaan lahan pedesaan adalah perkembangan fisik, khususnya perubahan arealnya. Oleh karena itu, eksistensi kota dapat ditinjau dari berbagai aspek. (Yunus, 1982 : 107)
Sedangkan arti luasnya adalah morfologi kota merupakan ilmu terapan yang mempelajari tentang sejarah terbentuknya pola ruang suatu kota dan mempelajari tentang perkembangan suatu kota mulai awal terbentuknya kota tersebut hingga munculnya daerah-daerah hasil ekspansi kota tersebut. Bentuk morfologi suatu kawasan tercermin pada pola tata ruang, bentuk arsitektur bangunan, dan elemen-elemen fisik kota lainnya pada keseluruhan konteks perkembangan kota. Pada tahap selanjutnya, terjadilah aktivitas sosial, ekonomi, budaya dalam masyarakatnya sehingga membawa implikasi perubahan pada karakter dan bentuk morfologi kawasan pusat kota. Sebuah kota selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan ini menyangkut aspek-aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi, dan fisik. Khusus aspek yang berhubungan langsung dengan penggunaan lahan perkotaam maupun penggunaan lahan pedesaan adalah perkembangan fisik, khususnya perubahan arealnya. Oleh karena itu, eksistensi kota dapat ditinjau dari berbagai aspek. (Yunus, 1982 : 107)
Pendekatan Morfologi kota adalah suatu kajian ekspresi bentuk keruangan kota. Tidak hanya mencakup aspek fisik tetapi juga aspek-aspek non-fisik (sejarah, kebudayaan, sosial, dan ekonomi) penduduk yang dapat mempengaruhi perubahan bentuk ruang kota. Melalui pemahaman terhadap morfologi kota, akan didapatkan gambaran fisik arsitektural yang berkaitan dengan sejarah pembentukan dan perkembangan suatu kawasan mulai dari awal terbentuk hingga saat ini dan juga akan diperoleh pemahaman tentang kondisi masyarakatnya. Pendekatan Morfologi kota dapat dilakukan melalui Tissue Analysis. Dalam Tissue Analysis ini termuat beberapa informasi terkait dengan hal-hal yang mendasari terbentuknya suatu kawasan yang meliputi pola guna lahan, persebaran fasilitas, jaringan jalan, dan permukiman dimana informasi-informasi ini nantinya sangat berguna dalam membantu menganalisis morfologi suatu kawasan. Terdapat 3 langkah dalam Tissue Analysis ini :
- Proses, dalam konteks ini dijelaskan bahwa munculnya suatu kota tidak terjadi secara langsung, namun membutuhkan suatu proses yang memiliki kurun waktu tertentu. Terdapat suatu perkembangan sejarah yang melatarbelakanginya hingga dapat muncul seperti saat ini.
- Produk, dalam hal ini kota yang ada ada tidak terjadi secara abstrak, namun merupakan hasil dari produk desain massa dan ruang yang berwujud 3 dimensi.
- Behavior, dalam konteks ini keberadaan suatu ruang dipengaruhi oleh perilaku masyarakat yang menghuninya. Bentuk kota yang ada merupakan hasil perpaduan budaya, aktivitas sosial dan ekonomi masyarakatnya sehingga menciptakan ruang. Perubahan ruang kota juga dapat terjadi yaitu karena dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang akan berdampak pula bagi perubahan kehidupan dan perilaku penghuni kota.
Morfologi kota merupakan kesatuan organik elemen-elemen pembentuk kota. Morfologi kota terbentuk melalui proses yang panjang, setiap perubahan bentuk kawasan secara morfologis dapat memberikan arti serta manfaat yang sangat berharga bagi penanganan perkembangan suatu kawasan kota.
Cakupan aspek morfologi kota antara lain:
- aspek detail (bangunan, sistem sirkulasi, open space, dan prasarana kota)
- aspek tata bentuk kota/townscape (terutama pola tata ruang, komposisi lingkungan terbangun terhadap pola bentuk di sekitar kawasan studi)
- aspek peraturan (totalitas rencana dan rancangan kota yang memperlihatkan dinamika kawasan kota
Perkembangan morfologi suatu kota dipengaruhi oleh banyak faktor.
- Faktor-faktor yang berkembang umumnya memiliki karakter tertentu yang mempengaruhi wajah kota dalam kurun waktu yang sangat panjang.
- Kompleksitas wajah kota dalam suatu kronologis waktu dipengaruhi diantaranya oleh sejarah, gaya bangunan, peraturan, struktur jalan, teknologi membangun, perkembangan regional, ataupun karena suatu landasan kosmologi yang berkembang di suatu daerah.
- Morfologi sifatnya never ending dalam artian terus berkembang dan waktu ke waktu.
Jenis proses perkembangan
- Proses formal (melalui proses planning dan design), kota diarahkan sesuai dengan potensi dan karakteristik dasar wilayah (potensi alamiah, ekonomi, sosial budaya).
- Ada intervensi terhadap perkembangan kota, proses organis (proses yang tidak direncanakan dan berkembang dengan sendirinya).
Ekspresi keruangan morfologi kota
A. Bentuk Kompak
The Square Cities (bujur sangkar), bentuk ini mempunyai kesempatan perluasan ke segala arah, secara seimbang. Selain itu dalam penerapan bentuk kota seperti ini, tidak mempunyai kendala yang berarti, karena pengembangannya yang merata dan seimbang. Namun dalam pertumbuhannya, lebih cenderung meningkat pada sisi-sisi jalur transportasi utama saja.
The Rectagular Cities (4 persegi panjang) , bentuk ini mempunyai space atau lahan kosong yang cukup besar dan luas guna pengembangan wilayah. Biasanya daerah yang menggunakan bentuk ini adalah daerah yang bertopografi perairan, hutan, gurun pasir, dan berlereng.
Fan Shapes Cities (kipas), bentuk ini biasanya digunakan untuk bemtuk lahan aluvial atau pesisir. Pada perkembangannya dominasi kota pelabuhan atau coastal menggunakan bentuk ini karena cukup baik untuk perkembangan perdagangan. Kendala yang dihadapi yaitu berasal dari perairan, berada pada delta sungai yang besar.
Rounded Cities (bulat), bentuk ini adalah bentuk yang paling ideal untuk kota, karena mempunyai kelebihan yaitu perkembangannya kesegala penjuru arah dan juga seimbang. Dalam bentuk ini, bisa dilakukan peraturan/perencanaan yaitu:
- bila lambat ; dipacu dg Planned Unit Development
- bila terlalu cepat ; dapat dihentikan
- batas luar ; green belt zoning / growth limitation
Ribbon Shaped Cities (pita), bentuk ini sangat dipengaruhi oleh jalur transportasi dan terhambatnya perluasan areal ke samping.
Octopus/Star Shape Cities (gurita/bintang), pada bentuk ini terdapat beberapa jalur transportasi yang dominan, terdapat juga daerah hinterland, selain itu pada tepi pinggirannya tidak ada kendala fisik yang berarti. Hinterland adalah tanah atau kabupaten di belakang batas-batas suatu pantai atau sungai. Secara khusus, dengan doktrin pedalaman, kata tersebut diterapkan pada daerah pedalaman berbaring di belakang port, diklaim oleh negara yang memiliki pantai. Daerah dari produk mana yang dikirim ke pelabuhan untuk pengiriman di tempat lain adalah pedalaman yang pelabuhan.
B. Bentuk Tidak Kompak
Fragment Cities (terpecah), bentuk awalnya adalah bentuk kompak namun dalam skala yang kecil,dan akhirnya saling menyatu dan membentuk kota yang besar. Bentuk ini berkembang, namun perluasan areal kota tidak langsung menyatu dengan kota induk (membentuk enclaves) pada daerah-daerah pertanian di disekitarnya. Pada negara berkembang, enclaves merupakan permukiman-permukiman yang berubah dari sifat pedesaan menjadi perkotaan.
Chained Cities (berantai), bentuk ini terpecah namun hanya terjadi di sepanjang rute tertentu. Jarak antara kota induk dan kenampakan-kenampakan kota baru tidak terlalu jauh, maka beberapa bagian membentuk kesatuan fungsional yang sama (khususnya dibidang ekonomi). Bentuk ini juga bisa disebut Ribbon City dengan skala yang besar.
Split Cities (terbelah), bentuk ini menggambarkan bentuk kota yang kompak namun sektor terbelah oleh perairan yang lebar. Pada perpotongan ini biasanya dihubingkan oleh kapal/jembatan. Contoh kota yang menerapkan bentuk ini adalah kota Buda (barat) dan Pest (timur) di sungai Danube, sehingga dikenal sebagai kota Budapest.
Stellar Cities (satelit), bentuk kota ini biasanya didukung oleh teknologi transportasi yang maju dan juga komunikasi yang maju. Karena modernisasi maka terciptalah megapolitan kota besar, yang dikelilingi oleh kota satelit.
Sumber Referensi:
Spiro Kostof, 1991, City Shaped : Urban Pattern and Meanings Tough History, London : Thames and Hudson, Ltd.
Paul D. Spreiregen, 1965, Urban Design, The Architecture of Town and Cities, Mc. Graw Hill Book Company.
Markus Zahnd, 1999, Perencanaan Kota Terpadu, Kanisius.
http://porakranjau.wordpress.com/2008/04/26/potensi-sektor-unggulan-sumatera-barat-hinterland-bagi-daerah-lain-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar